KOPIAH MAIYAH: BUKAN IDENTITAS KESUCIAN, TAPI PENGAKUAN KEHITAMAN
Mengutip Buletin Maiyah Jatim (BMJ) Edisi September 2016, kalimat lengkap judul di atas, seperti pernah dilontarkan Cak Nun adalah, “Bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan lebih sebagai pengakuan kehitaman.” Di tengah arus pencarian publik yang bergerak menuju pengukuhan eksistensi identitas yang dikomandani semangat meng-ada, membangun citra sosial yang positif, merawat image citra diri sebagai orang mulia, sikap berpikir Maiyah justru bergerak ke arah sebaliknya. Identitas kopiah dengan warna merah di tengah dan warna putih pada bagian samping yang melingkar, diusung semata-mata untuk pengakuan ke-hitam-an sang pemakai. Sikap merasa hitam itu memiliki dasar pijakan yang jelas: adakah nabi, rasul, manusia terkasih pilihan Tuhan mengaku dirinya putih, suci, hebat? Bagi ‘anak-anak’ Maiyah de-eksistensi itu bukan makhluk aneh, mengingat hampir di setiap pertemuan, peng-aji-an, maiyahan, baik yang rutin maupun yang tentatif, file-file dalam otak mereka telah terinstal software berpikir misalnya, menjalani hidup di dunia tak ubahnya seperti orang menanam. Bagi seorang penanam sejati, panen di dunia bukan tujuan utama, sehingga apabila ada orang lain, sekelompok manusia, lembaga, institusi, negara, pemerintah memanen hasil tanaman kita, arek-arek Maiyah itu merasa tidak patheken. “Emplok-emploken kunu!” karena makanan sejati, panen yang sesungguhnya adalah tatkala kita menjalani hidup yang abadi.
Arek-arek yang memakai kopiah Maiyah pada dasarnya sedang berproses secara terus-menerus menggugat kemapanan itu: kemapanan berpikir, kemapanan makna sukses, kemapanan menyikapi hidup, kemapanan hakekat kaya—dengan bertindak ‘kejam’ dan mentolo kepada diri sendiri. Selain dalam rangka meneguhkan kebenaran hari ini belum tentu menjadi kebenaran esok hari, juga disebabkan arek-arek Maiyah tidak memiliki modal yang cukup untuk bergaya dan tampil perlente. Mereka manusia biasa, berpakaian dan berpenampilan biasa-biasa saja, makan minum di warung yang biasa-biasa saja, tidak dibebani tugas mencitra-citrakan diri sebagai orang yang gembagus. Sembari menunggu siapa tahu ada teman mengajak ngopi gratis di warung sebelah. Arek-arek itu terlanjur sibuk 'belajar dari' agar lulus menjadi manusia sehingga terlewat waktu dan kesadarannya untuk sekadar mencitrakan diri: ben diarani, ben disangka, ben dikira, ben diduga, atau sejumlah ben-ben lain yang berpusat pada aku, bukan pada-Nya. Kopiah Maiyah setidaknya merefleksikan itu semua.
Mengutip Buletin Maiyah Jatim (BMJ) Edisi September 2016, kalimat lengkap judul di atas, seperti pernah dilontarkan Cak Nun adalah, “Bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan lebih sebagai pengakuan kehitaman.” Di tengah arus pencarian publik yang bergerak menuju pengukuhan eksistensi identitas yang dikomandani semangat meng-ada, membangun citra sosial yang positif, merawat image citra diri sebagai orang mulia, sikap berpikir Maiyah justru bergerak ke arah sebaliknya. Identitas kopiah dengan warna merah di tengah dan warna putih pada bagian samping yang melingkar, diusung semata-mata untuk pengakuan ke-hitam-an sang pemakai. Sikap merasa hitam itu memiliki dasar pijakan yang jelas: adakah nabi, rasul, manusia terkasih pilihan Tuhan mengaku dirinya putih, suci, hebat? Bagi ‘anak-anak’ Maiyah de-eksistensi itu bukan makhluk aneh, mengingat hampir di setiap pertemuan, peng-aji-an, maiyahan, baik yang rutin maupun yang tentatif, file-file dalam otak mereka telah terinstal software berpikir misalnya, menjalani hidup di dunia tak ubahnya seperti orang menanam. Bagi seorang penanam sejati, panen di dunia bukan tujuan utama, sehingga apabila ada orang lain, sekelompok manusia, lembaga, institusi, negara, pemerintah memanen hasil tanaman kita, arek-arek Maiyah itu merasa tidak patheken. “Emplok-emploken kunu!” karena makanan sejati, panen yang sesungguhnya adalah tatkala kita menjalani hidup yang abadi.
Arek-arek yang memakai kopiah Maiyah pada dasarnya sedang berproses secara terus-menerus menggugat kemapanan itu: kemapanan berpikir, kemapanan makna sukses, kemapanan menyikapi hidup, kemapanan hakekat kaya—dengan bertindak ‘kejam’ dan mentolo kepada diri sendiri. Selain dalam rangka meneguhkan kebenaran hari ini belum tentu menjadi kebenaran esok hari, juga disebabkan arek-arek Maiyah tidak memiliki modal yang cukup untuk bergaya dan tampil perlente. Mereka manusia biasa, berpakaian dan berpenampilan biasa-biasa saja, makan minum di warung yang biasa-biasa saja, tidak dibebani tugas mencitra-citrakan diri sebagai orang yang gembagus. Sembari menunggu siapa tahu ada teman mengajak ngopi gratis di warung sebelah. Arek-arek itu terlanjur sibuk 'belajar dari' agar lulus menjadi manusia sehingga terlewat waktu dan kesadarannya untuk sekadar mencitrakan diri: ben diarani, ben disangka, ben dikira, ben diduga, atau sejumlah ben-ben lain yang berpusat pada aku, bukan pada-Nya. Kopiah Maiyah setidaknya merefleksikan itu semua.
![]() |
Ragam warna peci maiyah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar